"Lebih baik anakku main hp di rumah ketimbang main di luar. Panas, kotor, nanti main sepeda jatuh dan luka"
Itu kalimat yang pernah kudengar.
Mereka menganggap smartphone itu penolong dan penjaga anaknya dari main diluar biar badannya fisiknya tidak luka. Tapi sedikit dari mereka (baca: orang tua) ini yang sadar kalau otak anaknya juga bisa luka karena main smartphone tiap hari.
Seorang Dokter pernah mengatakan kalau kemampuan konsentrasi, memahami perasaan (emosi) anak-anak maupun remaja akan terganggu. Smartphone bisa menghambat perkembangan otak, mulai dari anak-anak hingga usia pertengah 20-an.
Mengutip dari artikel (Tribunnews.com) smartphone bisa memicu depresi anak-anak.
Pusat Media dan Kesehatan Anak di Universitas Alberta menemukan selama tiga hingga lima tahun terakhir, ketika penggunaan ponsel pintar meroket.
90% guru melaporkan bahwa jumlah siswa dengan tantangan emosional meningkat.
86% guru melaporkan bahwa jumlah siswa dengan tantangan sosial juga meningkat.
Banyak guru menyalahkan penggunaan smartphone atas permasalahan ini. Anak-anak biasa pergi keluar selama istirahat makan siang dan melakukan kegiatan fisik dan sosialisasi.
Antara 2010 dan 2016, jumlah remaja yang mengalami depresi besar tumbuh sebesar 60%, menurut Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS.
Bunuh diri juga meningkat secara signifikan di antara anak-anak usia 10 hingga 19 selama waktu itu.
"Peningkatan ini sangat besar, mungkin belum pernah terjadi sebelumnya," jelas Prof. Jean Twenge dari San Diego State University.
Dia telah menemukan bahwa sejak 2010, remaja yang lebih banyak menggunakan smartphone dan teknologi lainnya lebih cenderung memiliki masalah kesehatan mental.
Mungkin kita mikir kalau "bagaimana bisa benda mati yang kita genggam ini mampu menghancurkan kita?"
Aku secara pribadi tidak menolak pemakaiannya terlebih di era sekarang segala hal itu update begitu cepat lewat internet dan kita perlu smartphone untuk mengakses hal tersebut. Tapi itu tidak berlaku untuk anak-anak. Mereka masih perlu belajar, berinteraksi, bermain di dunia nyata, memahami satu sama lain, dan masih belum memerlukan smartphone tersebut.
Jangan mau dikendalikan oleh benda mati. Smartphone itu bisa bergerak karena kita, jangan sampai malah kebalikannya.