Wanita dan Image Gadis Kecil yang Patuh

by - March 30, 2022


Sejak kecil, anak gadis selalu diajarkan untuk bertutur kata yang baik, lemah lembut, tidak mengeraskan suara melebihi laki-lali dan tak lupa - tentu saja - murah senyum. Beranjak dewasa, gadis ini makin dituntut untuk bisa menunjukkan image seorang 'wanita' konglomerat ala kerajaan Inggris - yang entah bentuk sesungguhnya itu seperti apa, karena bagi beberapa orang, wanita itu adalah yang cara jalannya elegan, duduknya tidak ngangkang, tidak memotong rambutnya pendek seperti laki-laki, pintar bersolek, dan berbagai macam hal lainnya (yang tidak ada habisnya). Jadi kategori 'wanita' ini sebenarnya tidak ada patokan pasti, tapi gambaran umumnya kurang lebih seperti yang sudah kusebutkan.

Aku termasuk anak yang diajarkan sejak kecil untuk berperilaku seperti seorang anak gadis pada umumnya - yang memakai bando, jepitan lucu, sering tersenyum (kebetulan my resting face emang kaya ngajak gelud) dan juga tak lupa harus berpakaian seperti gadis seumuranku. Saat itu aku tidak keberatan, "toh emang harus kaya gini kan ya anak gadis itu?" - pikirku. Sejak kecil dipaksa untuk fit in those images of girl no matter what, teruslah berusaha sampai jadi terbiasa (kata mereka).

Semakin besar, ternyata tekanan sebagai seorang anak gadis tidak lagi perihal cara berpenampilan saja. Tetapi juga merambah pada 'bahan obrolan'-nya, seperti apa topik yang boleh didiskusikan seorang wanita bersama wanita-wanita yang lain. Orang-orang menyebut wanita yang berbicara perihal sesuatu yang dianggap 'tabu' untuk dijadikan materi ghibahan, adalah wanita tidak benar, otaknya vulgar. Karena sejatinya wanita hanya boleh membicarakan masalah trend baju atau hal bodoh yang viral di kalangan masyarakat saja. 

Disatu sisi, tidak ada yang protes ketika salah satu teman laki-lakiku mengomentari pay*d*ra pengunjung lain yang nampak put*ngnya ketika ia baru saja duduk di kursi bersebarangan dengan kami. Atau ketika mereka membahas bagaimana cara hubungan s*ksual yang sama-sama memuaskan kedua belah pihak. "Itu wajar" - katanya. Lagi-lagi, mereka (laki-laki) ini dinormalisasikan untuk bersikap c*bul dan tidak terkontrol syahwatnya. "Laki-laki mah otaknya emang tentang tubuh wanita dan hubungan badan saja" - klaim salah satu teman mainku. 

Kalau wanita, walau dalam konteks belajar-pun tetap dilarang apalagi tidak berkepentingan dan bukan ahlinya. Bagaimana bisa wanita membahas masalah er*ksi dan penyakit kel*min dengan terbuka? Wah, bisa-bisa kita dianggap sebagai wanita nafsuan, ngga benar, atau paling parah disebut san**. Lain halnya kalau kalian adalah pekerja dibidang kesehatan atau yang berhubungan dengan reproduksi, dibolehkan saja kukira, toh tidak pernah terlihat ada yang menginterupsi ketika webinar kesehatan alat reproduksi dilangsungkan. Kita yang tidak punya latar pendidikan dibidang itu lah yang jadi masalah - bagi 'mereka'.

Disadari atau tidak, wanita ini diharapkan untuk selalu jadi gadis kecil yang 'polos', yang tidak mengungkit masalah tabu dan ranjang disembarang tempat apalagi statusnya belum menikah (walaupun untuk pengetahuan dasar). Wanita dituntut untuk tetap 'bersih' walaupun disatu sisi ketimpangan tuntutan itu sangat nampak terlihat. Laki-laki bisa gonta-ganti pasangan lalu membawa kisah ranjangnya ketongkrongan, sedangkan kalau wanita - ya siap-siap saja dicap sebagai p*lac*r dan tidak senonoh. 

Ketika video vulgar tersebar (misalkan), sanksi sosial merenggut kebebasan hidup pihak wanitanya saja. Orang ramai mencemooh betapa murahan dan kotor-nya wanita yang mau berhubungan dengan bukan suaminya, sedangkan laki-laki - yang punya previlege tidak berbekas ini - tidak diusik atas keg*talannya. Padahal tentu tindakan tersebut bukan hanya salah satu pihak. Lagipula, orang begitu heboh membahas cel*na d*lam wanita daripada membahas bagaimana jahatnya pihak yang menyebarkan video tersebut. 

Wanita begitu takut jika ketahuan menonton film yang ada adegan k*ss atau s*x karna bisa-bisa ia dihakimi oleh lingkungannya. Sedangkan masyarakat menerima dengan terbuka bahwa laki-laki harus terus menonton p*rno untuk mengupgrade skill bermainnya (maklum saja, mungkin mereka memang perlu tutorial dari situ). Mereka menganggap laki-laki ngeclub sebagai hal lumrah, selumrah mereka menambahkan gula untuk meminimalisir pahit kopinya. Kalau wanita? Oh, jangan kita bahas betapa tidak adilnya lingkungan ini dalam menghargai keberadaan seorang wanita - terlalu banyak. 

Bukan hanya masalah ini, tapi pada bahasan umum saja - wanita bisa dianggap banyak bicara, bi*ch atau bahkan berisik hanya karena mengutarakan pendapatnya. Namun mereka memuja laki-laki yang kritis, banyak bicara karena dianggap berwawasan luas. 

Wanita akan selalu dianggap sebagai anak gadis yang hanya main barbie atau masak-masakan saja, tapi diharapkan juga memiliki skill pelayan tingkat 1 untuk mensupport gender oppositenya. 

Dan apa kalian sadar, tulisanku dipenuhi sensor tanda (*) untuk setiap kata yang dianggap tidak baik untuk diucapkan atau ditulis oleh seorang wanita? Seakan ada kata negatif dan positif, sehingga wanita hanya diperkenankan menggunakan kata positif untuk menjaga image-nya sebagai wanita terhormat ala society in 21th Century. 

You May Also Like

0 comments

Notes ~

The more you love, the more you suffer (V. V. Gogh)

Report Abuse