Hidup Berdampingan dengan Stereotip Etnis

by - September 18, 2019


Indonesia merupakan negara kepulauan yang sampai saat ini memiliki 16.056 pulau setelah sebelumnya menurut informasi Kementerian Dalam Negeri berkurang sebanyak 1.448 pulau. Dengan jumlah penduduk sebanyak 266,91 juta jiwa yang terdiri atas 134 juta jiwa laki-laki dan 132,89 juta jiwa perempuan. 

Indonesia sendiri juga memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan tersebut dijadikan pengingat seluruh masyarakat di Indonesia bahwa negara Indonesia bukan hanya tentang satu warna saja dan oleh karena itu masyarakatnya harus bisa hidup berdampingan satu sama lain dengan banyaknya perbedaan yang ada. Perbedaan yang dimaksudkan disini adalah perbedaan budaya, ras, suku, agama, adat istiadat bahkan bahasanya. Sampai saat ini tercatat ada sebanyak 1.340 kelompok suku yang ada di Indonesia. Hal itulah yang mampu membuat masyarakat Indonesia memiliki begitu banyak perbedaan karena setiap kelompok memiliki corak atau ciri khasnya masing-masing.

Setiap pulau atau kawasan di Indonesia memiliki ciri masyarakatnya sendiri dan mulai berkembang sampai saat ini. Ketika seseorang yang tinggal di suatu wilayah tertentu pasti akan membentuk kepribadian yang berbeda dengan kepribadian seseorang dari daerah lain. Semakin berbeda daerahnya maka semakin berbeda juga jenis kepribadian yang dilahirkan. Tidak hanya itu, kepribadian yang berbeda juga lahir dari ajaran budaya, ras, suku atau bahkan agama yang diwariskan maupun yang diajarkan. Karena ada begitu banyak perbedaan yang ditemui sehingga menyulitkan untuk mengidentifikasi atau mengenali suatu masyarakat satu dengan yang lain.

Akhirnya masyarakat mulai menilai dengan persepsi sendiri atau berdasarkan pengalaman berinteraksi sendiri bahwa setiap orang membawa ciri khas dari setiap suku atau ras asalnya. Singkat saja, orang sunda dikenal dengan orang yang lembut dan ramah sedangkan orang batak terkenal dengan cara bicara yang keras. Padahal tidak ada yang mampu membuktikan secara valid bahwa persepsi masyarakat atas suatu suku ini benar adanya. Tidak ada bukti konkret bahwa orang sunda keseluruhan pasti lembut dan ramah sedangkan orang batak kebalikannya. Dari sinilah mulai dikenal sebuah istilah stereotip.

Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok dimana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat.

Indonesia sangat kental dengan yang namanya stereotip. Masyarakat sekarang ini dengan mudahnya bisa mengkategorikan atau melabeli suatu kelompok masyarakat lain hanya berdasar pada asumsi atau kepercayaan yang diwariskan turun menurun, buah pemikiran hasil interaksi ataupun perilaku individunya. Namun ternyata stereotip ini sendiri tidak semuanya dikonotasikan negatif. Karena ada beberapa juga stereotip yang mengarah kepada hal yang positif.

Beberapa masyarakat mungkin pernah mendengar bahwa orang Padang atau Minang adalah orang yang pekerja keras dan orang Jawa adalah orang yang paling mudah beradaptasi dan rasa toleransinya tinggi. Semua pendapat diatas adalah contoh dari stereotip positif yang berkembang di masyarakat sekarang ini.

Adapun stereotip negatif yang sering kita dengar adalah orang batak kasar, orang Papua suka membuat keributan, orang Padang itu pelit dan berbagai macam stereotip negatif lainnya. Melihat hal ini tentu membuat kita sedikit heran kenapa bisa orang dengan mudah menyamaratakan suatu kelompok etnis tertentu dengan begitu mudah dan berkembang begitu saja sampai sekarang. Sangat tidak adil jika memukul rata orang batak adalah orang yang kasar sedangkan masih banyak kita jumpai dari suku mereka yang ramah dan baik terhadap suku yang lain.

Stereotip bukanlah cara untuk mengenal atau mengidentifikasi suatu kelompok. Setiap individu memiliki cara dalam menyerap ajaran dan memiliki cara yang berbeda dalam menerapkan sehingga sungguh tidak adil bagi orang dari suku yang lain bisa di labeli atau dikategorikan sama rata dan berkembang seperti stereotip yang tersebar. Beruntung kalau stereotip tersebut adalah stereotip positif, bagaimana dengan masyarakat yang lain? Bagaimana dengan masyarakat yang terkena cap buruk oleh kelompok lain?

Contohnya saja, wanita sunda dilabeli atau di cap sebagai perempuan matre oleh beberapa kelompok padahal siapa yang bisa menjamin 100% wanita sunda seperti itu? Sangat disayangkan stereotip seperti ini masih saja digunakan dalam menilai suatu kelompok bahkan bisa dipakai sebagai bahan ejekkan atau bercandaan dalam masyarakat pada umumnya. Hidup berdampingan dengan stereotip orang Indonesia ini cukup sulit, terkhusus bagi orang dari suku yang dirugikan oleh stereotip tersebut. Seakan-akan jika etnis kita dikenal dengan stereotip negatif, sebaik apapun kita tetap tidak akan berdampak dan tetap akan di cap sebagaimana stereotip itu berkembang.

Seharusnya sebagai warga masyarakat Republik Indonesia yang paham betul arti dari “Bhinneka Tunggal Ika” ini mampu merealisasikan dengan baik bagaimana kita berbeda-beda tetapi tetap satu, harus bisa meminimalisir perbedaan dengan tidak mengotak-kotakkan suatu kelompok. Dan juga harusnya keberagaman suku, ras, budaya dan agama tersebut bukan dijadikan sebagai patokan untuk mengkategorikan suatu kelompok terlebih dalam menilai secara garis besar. 

Stereotip bukanlah jalan untuk mempermudah mengenali suatu kelompok atau etnis. Sebagai masyarakat yang heterogen, harusnya kita bisa lebih baik lagi dalam menilai dan memperlakukan orang lain karena kita di Indonesia ini hidup berdampingan. Indonesia di merdekakan bukan oleh satu suku atau kaum saja melainkan dari seluruh etnis yang ada di Indonesia, termasuk etnis yang di stereotip negatif itu tadi. Mulailah dari sekarang untuk berhenti menyebarkan stereotip tersebut supaya menjaga keutuhan negara kita.




This Essai written by Khalidza Evita Dzia.


You May Also Like

0 comments

Notes ~

The more you love, the more you suffer (V. V. Gogh)

Report Abuse