Pernikahan Dini dan Waktu yang tepat untuk Menikah

by - May 16, 2020





Entah kenapa di Indonesia sepertinya menjadi hal yang lumrah untuk membagikan masalah kehidupan pribadi terlebih kehidupan berumah tangga pasangan muda ke sosial media tanpa memikirkan dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan. Tren menikah muda seakan mendunia dan semua orang berkeinginan mengikutinya, mulai dari alasan agama-lah, menghindari zina lah, daripada pacaran ngga jelas lah, dan beberapa alasan lainnya. Dan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mengutip dari iNews.id bahwa persentase pernikahan dini di Indonesia meningkat 15,66 persen pada 2018, dari 14,18 persen di tahun sebelumnya. 
Dan fakta mengejutkan dari tren ini jika terus berlanjut adalah ada sebanyak 14,2 juta remaja putri menikah setiap tahun atau 39,000 setiap harinya. (link here!)

Children who have been pushed into marriage are exposed to violence, including rape, and are often forced from school and into premature parenthood, according to the UN Population Fund (UNFPA). Ending child marriage could generate billions of dollars in earnings and productivity by enabling girls to finish school, delay motherhood, find decent work and fulfil their potential. (Please check this link -here-)

Alih-alih mengkampanyekan menikah muda, akan lebih baik jika mengkampanyekan anak muda untuk lebih produktif di usia mudanya dengan mencetak prestasi, mengkampanyekan tentang pemberdayaan perempuan atau mengkampanyekan tentang pentingnya pendidikan usia dini.
Dampak negatif dari pernikahan dini lebih banyak daripada dampak positifnya mulai dari masalah mental, kesehatan tubuh dan reproduksi sampai pada masalah finansial dan sosial lainnya. (Alodokter)

UNICEF sendiri menilai kalau "Child marriage violets children's rights and places them at the risk of violence, exploitation, and abuse."
Yang mana pernyataan itu selaras dengan SDG Data Labs yang mengatakan bahwa "Child marriage violets the rights of children in a way that often leads to a lifetime of disadvantage and deprivation, especially for girls." (link here!)
Bahkan menurut seorang Excutive Director United Nations Populations Fund (UNFPA) menyebutkan bahwa "Child marriage is an appalling violation of human rights and robs girls of their education, health and long-term prospects"  (link here!)

Mengutip dari jurnal UNICEF sendiri ada beberapa faktor penyebab pernikahan dini diantarnya adalah alasan Protecting Girls dan As a Strategy for Economic Survival. Banyak orang tua yang merasa aman ketika sudah menikahkan anaknya dan merasa anaknya terlindungi dengan hal itu, singkatnya biar ada yang jagain dan ngontrol. Padahal itulah peran orang tua seharusnya untuk anaknya yang masih dibawah umur bukan malah melimpahkan hal itu kepada orang lain. Selanjutnya masalah perekonomian ternyata memang juga menjadi alasan pernikahan dini ini dan bahkan dalam jurnal itu dituliskan bahwa a young girl may be regarded as an economic burden and her marriage is a family survival startegy. Betapa ngerinya kenyataan disekitar kita saat ini. Dimana anak dijadikan alat untuk menyelamatkan keluarga dan menyenangkan orang lain tanpa memikirkan dari sisi si anak itu sendiri. Anak harus merelakan kesempatan yang banyak dan melepas masa remajanya begitu saja.

Early marriage is being used as a strategy to protect girls form sexual exposure or to pass the economic burder for their care to others. Thus early marriage lingers on as a culturally and socially sanctions practice.

Pernikahan dini yang dirasakan oleh perempuan ini sebenarnya dapat membatasi kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan yang lebih baik lagi. Tak sedikit juga mereka berpeluang untuk mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan beberapa serangan fisik atau mental lainnya. Makanya beberapa dari mereka memiliki sedikit power untuk bisa membuat sebuah keputusan apalagi ketika mereka menikahi orang yang lebih tua. Mereka akan begitu mudahnya di gaslighting oleh suaminya sendiri.

Selain hal itu pernikahan dini juga ternyata menjadi penyebab perceraian (link here!) Dengan kondisi mental yang masih belum dewasa ketika menghadapi permasalahan yang ada di rumah tangga membuatku ngga heran jika pernikahan dini bisa berakhir pada perceraian ataupun kekerasan fisik dan mental. Oleh karenaya aku termasuk pada orang yang tidak menyetujui praktek nikah muda dengan apapun alasannya.

Di Indonesia sendiri rupanya setelah aku searching di internet, Pengadilan Agama bisa melakukan dispensasi pada seseorang yang ingin menikah karena alasan "menyelamatkan" mereka. Dalam konteks ini maksudnya adalah ketika ada kasus hamil diluar nikah maka mereka boleh meminta dispensasi pada Pengadilan untuk bisa melangsungkan pernikahannya. Mungkin karena ingin menghentikan inilah banyak orang berpikiran kalau "Menikah Dini adalah Jalan untuk Menghindari Zina".

Statement yang menurut aku agak aneh dan sudah menjadi racun di masyarakat. Dimana-mana ketika ada anak terlebih perempuan, pasti akan dicekoki dengan pertanyaannnya "kapan nikah" dan pernyataan "Ngapain kuliah tinggi ntar akhirnya tinggal didapur setelah nikah, yaudah nikah aja."
(tapok jidat)

Masyarakat kita ini perlu diedukasiin mulai dari yang muda sampe yang tua. Biar kesannya menikahkan anak ngga kaya ngejual anak atau sekedar melepas beban tanggungan doang. Menikah itu bukan perkara tinggal berdua dan tidur terus makan, tapi lebih kompleks daripada itu. Harusnya orang tua yang sudah bertahun-tahun menikah itu paham kalau menikah itu ngga semudah itu dan ngga bisa untuk mendorong orang cepat menikah hanya karena usia atau omongan tetangga.
Bukannya lebih baik jika memberikan semangat untuk anak bisa semangat sekolah atau mendapatkan prestasi ketimbang mengkampanyekan anak nikah dini tanpa edukasi yang benar.

Menikah muda itu berpotensi menimbulkan masalah baru yaitu risiko tinggi terhadap kehamilan dini dan kehamilan tidak diinginkan, dengan konsekuensi ancaman kehidupan remaja putri dan calon anak. Bahkan dari Jurnal UNICEF menyebutkan bahwa "Pregnancies that occur -too early- when a woman's body is not fully mature constitute a major risk to the survival and future health of both mother and child"

Menurut Flavia Bustreo, M.D., Assistant Director-General for Family, Women's and Children's Health di WHO menyebutkan bahwa "Komplikasi kehamilan dan kelahiran adalah penyebab utama kematian pada wanita umur 15-19 tahun. Gadis muda yang menikah kemudian menunda kehamilan diluar masa remajanya memiliki lebih banyak kesempatan untuk tetap sehat, meningkatkan pendidikan mereka dan membangun kehidupan yang lebih baik untuk dirinya sendiri dan keluarganya."
If child marriage is not properly addressed, UN Millennium Development Goals 4 & 5 - calling for a two-thirds reduction in the under-five mortality rate and a three-fourths reduction in the maternal deaths by 2015 - will not be met.
Selain hal itu kerugian lainnya yang dihadapi pasangan suami istri muda dikutip dari steemit.com yang aku sangat setuju dengan itu, yaitu:
  1. Kurang terampil dalam mengasuh anak yang mana si ibu ngga paham dan tahu gimana caranya jadi seorang ibu yang baik dan si bapak merasa overwhelming untuk merawat istri dan anak. Karena apa? Mereka ngga cukup ilmu parenting dan makanya banyak kasus pelecehan yang terjadi karena ketidakdewasaan orang tua dalam menangani tantangan dalam membesarkan anak.
  2. Karena masa muda mereka terampas dengan terjadinya pernikahan itu, akhirnya mereka tidak bisa menikmati hidup lebih dan belajar banyak hal lainnya. Saat menjadi orang tua, mereka harus belajar tentang mengurus rumah tangga dan anak disamping itu belajar tentang kehidupan. Mereka terlalu tertekan karenanya dan tidak ada waktu untuk belajar tentang satu sama lain sehingga tidak jarang percekcokan atau misuderstanding sering terjadi.
  3. Dan terakhir tentu masalah finansial dimana membangun sebuah rumah tangga ngga bisa hanya modal cinta doang. Please be realistic! Mau makan perlu uang atau cinta? We need both of them.
Ketika kita sudah tahu ada banyak hal negatif dari pernikahan dini tanpa persiapan pengetahuan dll, sekarang tentu kita sudah paham kan kenapa pemerintah begitu gencarnya melalui BKKBN untuk menyosialisasikan masalah seks-bebas, pernikahan dini dan bahaya narkoba? Yaps karena ketiga hal ini berhubungan dan rentan terjadi pada anak remaja yang haus akan rasa ingin tahunya hingga suka mencoba banyak hal tanpa memilah yang mana yang baik dan mana yang tidak terlebih dahulu.


LALU USIA BERAPAKAH YANG TEPAT UNTUK MENIKAH?

Secara pribadi aku tidak menentukan kapan namun menentukan indikator kesiapan untuk diriku sendiri mengesampingkan kemungkinan ada nyinyiran dari tetangga atau bahkan keluarga sendiri tentang hal itu. Karena prinsipku adalah menikah dengan standarku bukan dengan standar orang lain dan lebih baik jadi perawan tua daripada menikah karena kesalahan. I don't give a sh#t dengan orang yang terus menasehatiku tentang "Jangan terlalu lama nanti jadi perawan tua dan anakmu terlihat seperti cucu karena jarak usia terlalu jauh" atau "Jangan terlalu banyak memilih nanti ngga laku".

The Goldilocks theory of getting married : you have to be not too young and not too old.

Dan kuharap orang-orang bisa stop mendongeng pasal menikah dengan hanya menceritakan urusan ranjang dan sexuality thing. That's gross!
Kalo mau menghindari zina ya jangan zina, kalo ngga tahan mau nikah tapi merasa masih belum dalam keadaan yang siap (mampu) maka puasa lah. Gunakan masa muda sebaik-baiknya dengan menebar banyak manfaat, jangan malah karena lagi tren nikah malah ikutan nikah trus ngestory masalah malam pertama di sosial media. Sumpah itu edukasi darimananya?!

So daripada memperdebatkan masalah prinsip dan pilihan hidup masing-masing, aku akan memberikan beberapa referensi yang aku himpun dari berbagai sumber.

Hasil penelitian dari Nicholas H. Wolfinger seorang Profesor dari Universitas Utah menyebutkan bahwa seseorang menikah pada usia 28-32 tahun memiliki peluang paling kecil untuk bercerai. Penelitian itu menyebutkan bahwa peluang bercerai terus menurun seiring bertambahnya usia, dan akan kembali naik lagi ketika di umur akhir 30-an dan awal 40-an. Dan setiap tahun setelah 32 peluang perceraian akan meningkat 5% (link here!)

Inilah kutipannya:
Wolfiger writes, "Past the age of 32 or so, the odds of divorce increase by 5 percent per year of age at marriage. The kinds of people who wait till their thirties to get married may be the kinds of people who aren’t predisposed toward doing well in their marriages."
Sedangkan dari studi yang diterbitkan oleh Institute of Family menyebutkan bahwa pasangan di usia tiga puluhan lebih matang dan biasanya memiliki fondasi ekonomi yang lebih sehat.



Dan hal itu masuk akal kenapa usia 20an akhir dan 30an awal adalah waktu untuk memulai memikirkan masalah partner karena diusia itulah kita benar-benar tahu apakah memulai hubungan karena mengerti satu sama lain atau dibutakan masalah hormon saja. Dan secara fisik dan mental mereka lebih baik dan terlebih secara finansial mereka sudah relatif stabil hingga indikator-indikator pertengkaran yang menyebabkan perceraian itu berpeluang lebih kecil bisa terjadi.

Bahkan seorang peneliti dari Universitas Maryland yang menggunakan khusus wanita untuk disurvei menyarankan usia terbaik untuk menikah dengan potensi perceraian terendah adalah umur 45-49 tahun!!!!!!!! Sangat terlambat kan kalo menurut standarnya orang-orang?

Namun menurut analisis seorang jurnalis dan ilmuwan kognitif menyarankan bahwa usia ideal adalah 26 tahun berdasarkan pada "aturan 37%". Berdasarkan teori matematika, waktu terbaik untuk membuat keputusan tentang apapun jika kita hanya dapat sumber daya yang terbatas seperti waktu ataupun subjeknya adalah ketika anda telah melihat 37% dari opsi.
So if you dated people between the ages of 18 and 40, you should wait until you’re 37 percent of the way through your dating lifetime in order to have enough “data” to pick your ideal partner. That’s 26 years of age. (link here!)
Melihat dari betapa ribetnya perhitungan yang mana yang terbaik menurut penelitian atau perhitungan matematika, maka sudah seharusnya kita berhati-hati tentang hal yang satu ini. Inilah keputusan terbesar dalam hidup kita. We have to think about it carefully and don't let anyone ruin your plan. Jalani hidup sesuai yang kita mau tanpa harus dipusingkan dengan omongan dan standar hidup orang lain.

Jangan lupa untuk paling tidak edukasikan keluarga terdekat tentang pernikahan dini dan pergaulan bebas agar tidak menikah karena kesalahan atau hanya untuk menyelamatkan finansial keluarga karena sebenarnya ada cara yang lebih baik daripada menyerahkan anak tanpa bekal begitu saja.
Ingat kalimat dari BKKBN kalau remaja adalah calon SDM Unggul untuk Indonesia Maju!







You May Also Like

4 comments

  1. Mantul, disisi lain juga emng banyak anak yg meningkah di usia muda itu jarang ada yang bisa mempertahankan hubungan rumah tangganya, dan yg bkin miris ketika meningkah muda dan telah memiliki seorang buah hati, buah hati inilah yang akhirnya a seperti mendepatkan imbas dri kedua ortunya, syukur kalau anak itu tahu bahwa itu gak baik, tpi kebanyakan juga anak meniru orang tua,, sukak syedih mmikirkan pikiran orng tua sma masyarakat tentang anak perempuan yang nikahnya lama:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi, Suwaf_! Makasih sudah berkunjung.
      Yes totally agree with you. Makanya kesiapan mental itu juga perlu selain kesiapan fisik. Kasian anak kita kena imbas dari ketidakdewasaan kita dalam menghadapi tantangan membesarkan sebuah keluarga.

      Delete
  2. Pernah sih terpancing buat nikah muda karna embel2 diatas, tapi pas sadar g ada calon pemikiran rasional mulai berjalan. Terkadang kejomblo ini mendatangkan ke positif an untuk lebih mengenal diri sendiri dan mencintai nya sebelum mengenal dan mencintai orang lain. Karna sejatinya komitmen g seenak yg diucapkan. Thx author bring us to the great article

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi, yungs! Makasih sudah berkunjung.
      Ya, karna ini adalah keputusan terbesar maka perlu dipikirkan lebih baik lagi.
      Totally agree with you, love yourself first!!

      Delete

Notes ~

The more you love, the more you suffer (V. V. Gogh)

Report Abuse