Kita yang akan pasti Mati

by - June 25, 2021

Berapa banyak dari kita yang memikirkan tentang kematian dalam sehari?
Berapa kali pernah terbesit dibenak kalau dalam beberapa jam kedepan bisa saja raga kita sudah tergeletak sendirian di dalam kubur?
Apakah pernah terbayangkan ketika ingin tidur lalu terbangun di alam yang berbeda?

Jika kalian pernah dan bahkan untuk beberapa kasus, sering mengalaminya. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah, Apakah ada penyesalan akan sesuatu yang masih disesalkan sampai detik ini?

Kalau masih ada, berarti pertanyaan tentang kematian tadi tidak benar-benar kalian pikirkan dengan seksama. Tidak perlu dibaca ulang, jawaban kalian pasti tetap akan sama, malah mungkin mendebatku. 

Bagaimana bisa jika seseorang memikirkan betul masalah kematian tapi masih menyimpan penyesalan? Tidak, mungkin tidak semuanya, tapi kematian adalah hal yang mampu mendorong seseorang untuk bertindak melampaui dirinya sehingga penyesalan itu tidak, mungkin juga iya, terbeban pada pundaknya.

Salah satu buku - novel - yang berhasil membuat bantalku basah semalaman karena menangisi karakter-karakter fiksi didalamnya, memberikanku beberapa baris kalimat yang patut dipikirikan dengan cermat.

"Apa seseorang harus sekarat baru ia bisa menghargai setiap detik dalam hidupnya?"
"Apa seseorang harus sekarat dulu agar ia bisa merasakan benar-benar hidup?"
"Terlalu banyak penyesalan untuk dibawa kedalam kubur, jadi lakukanlah"
"No matter how we choose to live, we both die at the End"

Ya, buku itu mengisahkan tentang kematian dan secara implisit memperingatkan akan sebuah penyesalan dan seruan untuk benar-benar menikmati hidup.

Kematian.
Tidak ada hal yang menyenangkan bisa dibahas tentang hal itu at least bagi beberapa orang, dan bagi beberapanya lagi, kematian adalah pertemuan kembali. Semua bebas memaknai, tapi kali ini, biarkan aku dan pikiran dangkalku ini mengartikannya dalam sebuah tulisan konyol, ya, seperti biasanya. Namun sebelum itu, mari kita baca kutipan dari Bapak Steve Jobs ini "No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life's change agent. It clears out the old to make way for the new."

Jika Tuhan, secara ajaibnya, mengumumkan lewat telepon, email, atau bahkan secara langsung membisiki lewat telinga, bahwa dalam beberapa jam kedepan "KAU AKAN MATI".

What's the first thing you want to do?
Is it throw a big party?
Is it call your family or friends to say sorry and you love them?
Is it get down on your knees, praying?
Atau, melakukan beberapa hal yang selama ini hanya bisa kalian imajinasikan?
Seperti melepas pakaian dan berlarian di tengah jalan, bertingkah seperti orang tidak waras?
Mengungkapkan semua rahasia yang kalian simpan?
Atau tanpa rasa malu ataupun takut, mengungkapkan perasaan pada seseorang yang selama ini hanya bisa kalian pendam?

Pengumuman mengenai kematian secara mendadak memang tidak menyenangkan, bahkan mungkin, akan lebih baik jika itu terjadi secara tiba-tiba. Kita tidak perlu memikirkan banyak hal untuk dilakukan atau disesalkan, bukan?
Kita hanya perlu bersiap, lalu secara mendadak, sebuah roh terangkat dari raga, kita mati. Simpel dan sederhana, tanpa persiapan, tanpa pengetahuan, dan tanpa membawa penyesalan.

Jika, kembali lagi, untuk sekarang memang harus diandaikan dulu. 
Jika Tuhan, ya, dia kembali memberikanmu pilihan, mati mendadak atau diberikan waktu 1 hari untuk menyelesaikan beberapa hal, apa yang akan kalian pilih

Kalau aku? Oh tentu saja, mati mendadak, lebih baik dan simpel. Bayangkan, dalam beberapa jam kedepan aku harus membebankan pikiran dengan hal-hal yang ingin aku lakukan jika masih ada cukup waktu, yang secara sadar kuhabiskan secara percuma, ditambah waktu berjalan mundur menghitung kapan roh ini terangkat?? Wah, aku tidak suka perasaan dihantui seperti itu. Jadi, pilihanku adalah itu. Tidak dapat diganggu gugat.

Tapi jika kalian memilih mati dengan peringatan waktu, maka, bisa kukatakan, atau lebih halusnya kuasumsikan, kalian banyak menyimpan penyesalan. Oh ayolah, aku hanya berasumsi, jika tidak benar, tak perlu marah, kalaupun benar, mari kita bicarakan dengan santai karena tulisan ini bukan sebuah jurnal ilmiah yang tidak terbantahkan. Jadi, semua asumsiku, secara terbuka, silahkan dikoreksi.

Ketika bucket list sebelum kematian kalian ada banyak, bukankah itu menandakan kalau kalian tidak benar-benar menikmati hidup?

Kenapa harus menunggu mau mati dulu, baru kalian mau menelpon keluarga untuk meminta maaf atau mengucapkan kalian menyayangi mereka?
Kenapa harus menunggu mau mati dulu, baru kalian beribadah dengan khusyuk?
Kenapa harus menunggu mau mati dulu, baru kalian menemui orang yang kalian cintai dan mengungkapkan perasaan itu?
Kenapa hal tersebut tidak kalian lakukan sekarang, saat masih ada waktu. Kita tidakp punya Death-Cast seperti didalam buku Adam, jadi kita tidak bisa menunggu sampai peringatan itu datang. Dan kita tidak tahu entah kita yang meninggalkan atau ditinggalkan dalam hidup ini.

Menunggu waktu yang tepat ini selalu menjadi alasan, alasan untuk menunda lalu entah bagaimana, tak ada waktu yang tepat untuk benar-benar melakukannya. Dan penyesalan menjadi Tuan-nya. Mati dalam keadaan Penuh Perandaian.

Aku selalu menatap heran ketika mendengar ada orang yang mengakui mencintai seseorang tapi memilih memendamnya, memilih waktu yang tepat - ujarnya, atau ia ragu tentang masa depan yang ia tahu sendiri kalau ia tidak bisa mengontrol hal itu.

Lalu, ada lagi beberapa orang, sepertiku, terlalu takut melakukan sesuatu hingga akhirnya memilih nanti. Dengan penuh percaya dirinya menunggu esok hari, seakan tidak bisa mati dalam 5 menit kedepan. 

Jadi apa yang sebenarnya kita tunggu?
Kematian ataukah penyesalan?
Kematian, saat tidak ada lagi kesempatan, karena, kembali lagi kuingatkan, kita tidak punya Death-Cast, jadi mati bisa kapan saja.
Atau penyesalan, saat semua hanya bisa kembali direnungkan dan tak ada jalan kembali untuk memilih akhir yang berbeda.

Orang yang seperti itu hanyalah manusia penakut yang bersembunyi dibalik alasan-alasan. Mereka tidak berani bertindak, hingga saat kematian mendekat, penyesalan itu kembali datang. Dan aku, dengan bangganya, telah menjadi manusia yang seperti itu.

"Bagaimana jika dulu aku......"
Kalimat itu akan terus terputar didalam kepala kita nanti sementara malaikat menjalankan tugas untuk mengembalikan roh itu ketempat semula. Kita mati.

Dalam beberapa kasus, penyesalan juga tidak selamanya berhubungan dengan kematian, tanpa kematian, penyesalan bisa saja terjadi dan masih disesalkan. Tapi, manusia, seperti kita, tidak pernah belajar dari situ, tetap memendam semua lalu menikmati penyesalan disisa akhir hidup. Seakan-akan itulah yang kita inginkan.

"Live your life to the Fullest"
Itu kalimat dalam buku itu, diucapkan oleh Death-Cast melalui sambungan telepon. Reaksi penerimanya bagaimana? Well, terkejut, kesal, bahkan merasa tidak adil karena peringatan itu datang tanpa memandang apakah orang tersebut sedang sekarat atau sedang baik-baik saja. Padahal, bagi beberapa orang, itu lebih baik, daripada tidak sempat mengucapkan selamat tinggal sama sekali.
Walaupun Death-Cast mengumumkan waktu, ia ternyata juga tidak mampu memberikan "bagaimana" nya. Tetap menjadi misteri, bagaimana kematian itu.

Mencapai Ending buku, setelah berusaha mengambil nafas yang terhalang oleh cairan bening, ya, di-ending benar-benar mengguncang emosi, kedua karakter terus mengulang kalimat
Andai kita masih punya waktu lebih......
Keinginan sejuta ummat, dengan sekeranjang besar 'list' yang sebentar lagi akan disesalkannya.

Kita semua setuju, kalau kita sering memikirkan kematian, tapi kenapa masih menyimpan penyesalan?
Kenapa masih memiliki 'daftar menikmati hidup' itu?
Kenapa kita tidak benar-benar menikmati hidup tanpa harus menunggu sekarat?
Kenapa kita tidak bisa benar-benar beribadah dengan khusyuk tanpa harus diingatkan besok mati?
Kenapa kita terlalu lalai dalam memanfaatkan waktu yang kita setujui, harus setuju, ada batasnya ini?

Kematian tidak memiliki alarm, datang kapan saja, menghampiri siapa saja, siap atau tidak, lalu kenapa mesti menunggu sampai besok jika bisa sekarang?O

Ohayolah, tulisanku mungkin membingungkan, tapi kau paham kan maksudku?
Ya, lakukan. List itu tidak ada maknanya jika kau mendadak sudah dimandikan untuk siap dikubur. List itu hanya akan memberikan efek penyesalan. Jangan sampai nanti, terbesit kalimat seperti dibuku itu, sungguh, tidak ada artinya lagi. Menangisi waktu yang telah berlalu apa akan mengembalikannya barang 5 detik? Tidak. 

You May Also Like

0 comments

Notes ~

The more you love, the more you suffer (V. V. Gogh)

Report Abuse